Jumat, 31 Maret 2017

Anggrek tebu






Anggrek tebu (Grammatophyllum speciosum) merupakan anggrek terbesar, paling besar dan paling berat diantara jenis-jenis anggrek lainnya. Dalam satu rumpun dewasa, anggrek tebu dapat mencapai berat lebih dari 1 ton dan mempunyai panjang malai hingga 3 meter dengan diameter malai sekitar 1,5-2 cm. Itulah sebabnya tanaman ini layak menyandang predikat sebagai anggrek terbesar dan terberat atau anggrek raksasa.
Anggrek tebu sering disebut juga sebagai anggrek macan (meskipun rancu Grammatophyllum scriptum yang memiliki nama serupa), anggrek harimau, dan anggrek ratu. Dalam bahasa Inggris dikenal sebagai Sugar Cane Orchid, Giant Orchid, atau Queen of the Orchids. Dalam bahasa latin (nama ilmiah) anggrek tebu disebut sebagai Grammatophyllum speciosum yang bersinonim dengan Grammatophyllum cominsii (Rolfe 1891), G. fastuosum (Lindl. & Paxton 1851 & Paxton 1851), G. giganteum (Rchb ex Blume. 1877), G. macranthum (Rchb. 1862), G. pantherinum (Rchb. 1878), G. pantherinum (Rchb.f 1878), G. papuanum (JJ Sm.), G. sanderianum (hort. 1893), G. wallisii (Rchb. 1877),Pattonia macrantha (Wight 1852).


Ciri-ciri. Ciri utama anggrek tebu adalah ukurannya yang besar. Malai dapat tumbuh mencapai ketinggian 2,5 – 3 meter dengan diameter sekitar 1,5-2 cm. Dalam setiap malai bisa memiliki puluhan, bahkan mencapai seratus kuntum bunga yang masih-masing bunga berdiameter sekitar 10 cm. Sosok batangnya ini memang mirip dengan tebu lantaran itu kemudian anggrek ini terkenal sebagai anggrek tebu.
Bunga anggrek tebu (Grammatophyllum speciosum) berwarna kuning dengan bintik-bintik berwarna coklat, merah atau merah kehitam-hitaman. Bunga anggrek tebu tahan lama dan tidak mudah layu. Meskipun telah dipotong dari batangnya bunga raksasa yang super besar dan berat ini mampu bertahan 2 bulan.
Persebaran dan Konservasi. Tanaman anggrek tebu tersebar secara alami mulai dari Myanmar, Thailand, Laos, Vietnam, Malaysia, Indonesia, hingga New Guinea. Di Indonesia anggrek tebu tersebar ulai dari pulau Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Maluku, hingga Papua.
Tanaman bunga anggrek tebu (Grammatophyllum speciosum) tumbuh di sela-sela atau pangkal pohon besar di daerah dataran rendah yang beriklim tropis. Anggrek tebu membutuhkan sinar matahari langsung.
Keunikan dan langkanya tanaman anggrek terbesar dan terberat ini membuat anggrek tebu menjadi salah satu anggrek yang dilindungi di Indonesia.
Diantara sobat, terutama pecinta anggrek, ada yang telah membudidayakan jenis anggrek tebu ini?
Klasifikasi ilmiah: Kerajaan: Plantae Divisi: Magnoliophyta Kelas: Liliopsida Ordo: Asparagales Famili: Orchidaceae Subfamili: Epidendroideae Suku: Cymbidieae Genus: Grammatophyllum Spesies: Grammatophyllum speciosum.

Anggrek larat






Anggrek larat adalah salah satu bunga identitas Indonesia khususnya di Maluku.[1] Tumbuhan ini memiliki nama ilmiah Dendrobium phalaenopsis.[1] Anggrek larat memiliki dua persamaan nama yaitu Vappodes phalaenopsis dan Dendrobium bigibbum.[1] Tanaman berbunga indah ini termasuk dalam suku Orchidaceae.[2] Anggrek larat termasuk tanaman langka dan dilindungi.[1] Nama anggrek larat diambil dari nama Pulau Larat yang ada di Kepulauan Maluku.[1] Pulau Larat adalah pulau dimana anggrek larat pertama kali ditemukan.[1] Seperti halnya anggrek lainnya, anggrek larat juga termasuk tumbuhan epifit.[2] Jenis bunga ini dalam Bahasa Inggris disebut cooktown Orchid.[2]

Habitat

Habitat asli anggrek larat ialah daerah agak kering dengan ketinggian 400 meter diatas permukaan laut.[2] Anggrek larat tumbuh di daerah dengan suhu antara 50F hingga 90F.[3] Apabila tanaman ini berada pada suhu yang sedikit lebih tinggi atau rendah tanaman masih tetap toleran dan tidak menimbulkan efek buruk bagi tanaman.[4] Tanaman endemik Maluku ini dapat hidup pada kelembaban antara 50% dan 60%.[3] Secara umum dapat dikatakan bahwa anggrek larat hidup pada kelembaban rendah dan agak kering.[4] Suhu dingin yang lembab dapat menyebabkan tanaman anggrek larat yang sedang berbunga menjadi busuk.[4]


Penanaman

Budidaya anggrek larat kini sudah mulai dilakukan supaya tanaman ini tidak punah.[1] Pembudidayaan anggrek sebaiknya dilakukan pada lahan yang terkena sinar matahari langsung saat pagi hari.[5] Lahah yang digunakan untuk menanam anggrek seharusnya di beri semacam tirai untuk menaungi tanaman saat matahari mulai menyengat.[5] Meskipun membutuhkan sinar matahari langsung, anggrek larat juga tidak tahan apabila terlalu panas, jadi saat suhu sangat panas disiang hari sebaiknya dipindah ke tempat yang lebih teduh.[5]
Anggrek larat termasuk dalam tumbuhan hidjau yang hijau sepanjang tahun.[5] Meskipun habitatnya pada tempat yang agak kering tetapi tanaman ini harus segera disiram saat mendekati kekeringan.[5] Penyiraman sebaiknya dilakukan dua hari sekali atau lima hari sekali melihat kondisi tanaman.[5]
Proses pemumukan diperlukan supaya anggrek larat dapat tumbuh dengan subur.[6] Pupuk yang baik untuk anggrek jenis ini adalah makanan hijau dari hutan.[6] Apabila penyiraman menggunakan keran atau air sumur maka tanaman tersebut sebaiknya dipupuk dua atau tiga kali saat bulan dengan suhu panas dan setiap bulan sekali saat musim hijan atau saat udara memiliki udara lembab.[6]
Anggrek larat dapat ditanam di dalam pot dengan menggunakan media tanam kasar.[7] Media tanam kasar tersebut adalah terdiri dari campuran kayu cemara, potongan kulit kayu, perlite, dan arang.[7] Media tanam diganti saat mulai longgar dan mulai membusuk.[7] Tanaman anggrek larat yang masih muda membutuhkan banyak air sedangkan yang sudah dewasa sedikit membutuhkan air.[7] Pot yang dapat digunakna adalah pot dari plastik atau gerabah.[7]

Bunga

Bunga anggrek larat berwarna ungu muda, putih, serta kombinasinya.[4] Mahkota bunga terdiri dari enam bagian mahkota bunga.[3] Bunga anggrek larat tersusun pada satu tangkai panjang.[3] Setiap satu tangkai panjang ini terdapat banyak mkuntum bunga.[3]

Daun

Semaik sehat daun tanaman anggrek larat, maka bunganya juga akan mekar dengan baik. Daun anggrek larat berbentuk panjang dnegan daging daun yang tebal.[3] Daun anggrek larat ini memiliki tekstur kaku dengan warna mulai dari hijau muda hingga hijau tua serta mengkilat dibagian permukaan daun.[3] Daun tersusun melekat pada batang, saling melekan dengan daun lain.[3]

Mimba






Mimba atau Daun Mimba atau Azadirachta indica A. Juss. adalah daun-daun yang tergolong dalam tanaman perdu/terna yang pertama kali ditemukan didaerah Hindustani, di Madhya Pradesh, India. Mimba datang atau tersebar ke Indonesia diperkirakan sejak tahun 1.500 dengan daerah penanaman utama adalah di Pulau Jawa.
Tumbuh di daerah tropis, pada dataran rendah. Tanaman ini tumbuh di daerah Jawa Barat, Jawa Timur, dan Madura pada ketinggian sampai dengan 300 m dpl, tumbuh di tempat kering berkala, sering ditemukan di tepi jalan atau di hutan terang.


Daftar isi

Morfologi

Merupakan pohon yang tingi batangnya dapat mencapai 20 m. Kulit tebal, batang agak kasar, daun menyirip genap, dan berbentuk lonjong dengan tepi bergerigi dan runcing, sedangkan buahnya merupakan buah batu dengan panjang 1 cm. Buah mimba dihasilkan dalam satu sampai dua kali setahun, berbentuk oval, bila masak daging buahnya berwarna kuning, biji ditutupi kulit keras berwarna coklat dan didalamnya melekat kulit buah berwarna putih. Batangnya agak bengkok dan pendek, oleh karena itu kayunya tidak terdapat dalam ukuran besar.[1]
Daun mimba tersusun spiralis, mengumpul di ujung rantai, merupakan daun majemuk menyirip genap. Anak daun berjumlah genap diujung tangkai, dengan jumlah helaian 8-16. tepi daun bergerigi, bergigi, beringgit, helaian daun tipis seperti kulit dan mudah laya. Bangun anak daun memanjang sampai setengah lancet, pangkal anak daun runcing, ujung anak daun runcing dan setengah meruncing, gandul atau sedikit berambut. Panjang anak daun 3-10,5 cm .[2]
Helaian anak daun berwarna coklat kehijauan, bentuk bundar telur memanjanga tidak setangkup sampai serupa bentuk bulan sabit agak melengkung, panjang helaian daun 5 cm, lebar 3 cm sampai 4 cm. Ujung daun meruncing, pangkal daun miring, tepi daun bergerigi kasar. Tulang daun menyirip, tulang cabang utama umumnya hampir sejajar satu dengan lainnya.

Habitat

Tumbuhan liar di hutan dan di tempat lain yang tanahnya agak tandus, ada juga yang ditanam orang ditepi-tepi jalan sebagai pohon perindang [3]. Banyak terdapat di daerah Jawa Barat, Jawa Timur, Madura 1-300 meter. Umumnya di tempat yang sangat kering, di pinggir jalan, pada hutan yang terbuka.[2]

Beragam Nama

  • Nama daerah: Imba, Mimba (Jawa); Membha, Mempheuh (Madura); Intaran, Mimba (Bali)
  • Nama asing: Margosier, Margosatree, Neem tree (Inggris/Belanda) [1]
  • Nama ilmiah: Azadirachta indica.

Klasifikasi

  • Divisi : Spermatophyta
  • Subdivisi: Angiospermae
  • Kelas : Dicotyledonae
  • Subkelas : Dialypetaleae
  • Bangsa : Rutales
  • Suku : Meliaceae
  • Marga : Azadirachta
  • Jenis : Azadirachta indica A. Juss.[4]
Kegunaan
Daun mimba mengandung senyawa-senyawa diantaranya adalah β-sitosterol, hyperoside, nimbolide, quercetin, quercitrin, rutin, azadirachtin, dan nimbine. Beberapa diantaranya diungkapkan memiliki aktivitas antikanker [5]. Daun mimba mengandung nimbin, nimbine, 6-desacetylbimbine, nimbolide dan quercetin [6]
Tanaman mimba mempunyai beberapa kegunaan. Di India tanaman ini disebut “the village pharmacy”, dimana mimba digunakan untuk penyembuhan penyakit kulit, antiinflamasi, demam, antibakteri, antidiabees, penyakit kardiovaskular, dan insektisida (McCaleb, 1986). Daun mimba juga di gunakan sebagai repelan, obat penyakit kulit, hipertensi, diabetes, anthelmintika, ulkus peptik, dan antifungsi. Selain itu bersifat antibakteri dan antiviral [7]
Seduhan kulit batangnya digunakan sebagai obat malaria. Penggunaan kulit batangnya yang pahit dianjurkan sebagai tonikum. Kulit batang yang ditoreh pada waktu tertentu setiap tahun menghasilkan cairan dalam jumlah besar. Cairan ini diminum sebagai obat penyakit lambung di India. Daunnya yang sangat pahit, di Madura digunakan sebagai makanan ternak. Rebusannya di minum sebagai obat pembangkit selera dan obat malaria [1].
Tanaman mimba dapat dipergunakan sebagai insektisida nabati dengan menggunakan campuran bahan lain seperti: serai wangi, lengkuas, gadung, sabun dan alkohol. Bagian tanaman yang digunakan adalah biji dan daun.
Daun digunakan untuk penambah nafsu makan,untuk menanggulangi disentri, borok, malaria, anti bakteri. Minyak untuk mengatasi eksem, kepala yang kotor, kudis, cacing, menghambat perkembangan dan pertumbuhan kuman. Kulit batang digunakan untuk mengatasi nyeri lambung, penguat, penurun demam. Buah dan getah digunakan sebagai penguat.[8]
Untuk mengatasi disentri sepertiga genggam daun mimba, 2 jari batang mimba dicuci dan dipotong-potong seperlunya, kemudian direbus dengan 3 gelas air bersih sampai air tinggal 3/4 nya; setelah dingin, disaring dan diminum dengan gula seperlunya (2 kali sehari 3/4gelas). Untuk mengatasi eksem 20 lembar daun mimba dicuci dan digiling halus, diremas dengan air kapur sirih seperlunya, kemudian ditempelkan pada kulit yang terkena eksem dan dibalut (2 kali sehari sebanyak yang diperlukan).[8]

Efek biologis

Mimba memiliki efek antiserangga dengan azadirachtin sebagai komponen yang paling poten. Ekstrak daun dapat berefek sebagai fungisida alami pada pengendalian penyakit antraknosa pada apel pasca panen, berefek insektisida terhadap larva Aedes aegypti. Ekstrak biji berpengaruh sublethal terhadap struktur mikroanatomi ventrikulus dan pengham batan pertumbuhan Plasmodium berghei pada mencit. Toksisitas Dapat menyebabkan iritasi mata dan jaringan lunak, serta kemungkinan sebagai penyebab konjugtivitas dan inflamasi.

pohon enau


Enau atau aren (Arenga pinnata, suku Arecaceae) adalah palma yang terpenting setelah kelapa (nyiur) karena merupakan tanaman serba guna. Tumbuhan ini dikenal dengan pelbagai nama seperti nau, hanau, peluluk, biluluk, kabung, juk atau ijuk (aneka nama lokal di Sumatra dan Semenanjung Malaya); kawung, taren (Sd.); akol, akel, akere, inru, indu (bahasa-bahasa di Sulawesi); moka, moke, tuwa, tuwak (di Nusa Tenggara), dan lain-lain.[1]
Bangsa Belanda mengenalnya sebagai arenpalm atau zuikerpalm dan bangsa Jerman menyebutnya zuckerpalme. Dalam bahasa Inggris disebut sugar palm atau Gomuti palm.
Aren adalah tumbuhan yang dilindungi oleh undang-undang.


Daftar isi

Pohon durian


Pohon durian adalah nama tumbuhan tropis yang berasal dari wilayah Asia Tenggara, sekaligus nama buahnya yang bisa dimakan. Nama ini diambil dari ciri khas kulit buahnya yang keras dan berlekuk-lekuk tajam sehingga menyerupai duri. Sebutan populernya adalah "raja dari segala buah" (King of Fruit). Durian adalah buah yang kontroversial, meskipun banyak orang yang menyukainya, namun sebagian yang lain malah muak dengan aromanya.
Sesungguhnya, tumbuhan dengan nama durian bukanlah spesies tunggal tetapi sekelompok tumbuhan dari marga Durio.[1] Namun, yang dimaksud dengan durian (tanpa imbuhan apa-apa) biasanya adalah Durio zibethinus. Jenis-jenis durian lain yang dapat dimakan dan kadangkala ditemukan di pasar tempatan di Asia Tenggara di antaranya adalah lai (D. kutejensis), kerantungan (D. oxleyanus), durian kura-kura atau kekura (D. graveolens), serta lahung (D. dulcis). Untuk selanjutnya, uraian di bawah ini mengacu kepada D. 
 zibethinus.


Daftar isi

Nama-nama lokal

Terdapat banyak nama lokal. Nama terbanyak ditemukan di Kalimantan, yang mengacu pada berbagai varietas dan spesies yang berbeda. Durian di Jawa dikenal sebagai duren (bahasa Jawa, bahasa Betawi) dan kadu (bahasa Sunda). Di Sumatera dikenal sebagai durian dan duren (bahasa Gayo). Di Sulawesi, orang Manado menyebutnya duriang, sementara orang Toraja duliang. Di Kota Ambon dan kepulauan Lease biasa disebut sebagai Doriang. Di Pulau Seram bagian timur disebut rulen.[2]

Pohon damar




Pohon damar (bahasa Inggris: Dammar gum) adalah hasil sekresi (getah atau gum) dari pohon Shorea sp., Vatica sp., Dryobalanops sp., dan lain-lain dari suku meranti-merantian atau Dipterocarpaceae. Di dalamnya termasuk damar mata kucing dan damar gelap. Damar dimanfaatkan dalam pembuatan korek api (untuk mencegah api membakar kayu terlalu cepat), plastik, plester, vernis, dan lak. Getah damar merupakan resin triterpenoid, mengandung banyak triterpene dan hasil oksidasinya. Banyak di antaranya merupakan senyawa dengan berat molekul rendah (dammarane, asam damarenolat, oleanane, asam oleanonat, dll.), tetapi damar juga mengandung suatu fraksi polimer, yang tersusun dari polycadinene.[1]

Daftar isi

Penggunaan

Damar digunakan dalam makanan, sebagai pembuat keruh (clouding agent) atau pembuat mengkilap (glazing agent, dan dalam kemenyan, vernis, dan produk-produk lain. "Vernis damar" (Dammar varnish), terbuat dari getah damar yang dicampur dengan terpentin, diperkenalkan sebagai vernis gambar pada tahun 1826,[2] biasanya dipakai dalam lukisan minyak, baik dalam proses pembuatan lukisan maupun setelah lukisan selesai.[3]
Kristal damar juga dilarutkan dalam molten malam parafin untuk membuat batik, guna mencegah malam meretak ketika dilukiskan pada sutra atau rayon.
Namanya dalam bahasa Indonesia atau bahasa Melayu berarti "resin" atau "obor yang dibuat dari resin".
Ada dua jenis lain dari damar, selain getah damar:
  • Mata kucing merupakan resin kristalin, biasanya dalam bentuk bola-bola bulat.
  • Batu berbentuk kelereng, damar berwarna keruh (opaque) yang dikumpulkan dari tanah.

Keamanan bahan

Data fisika

Stabilitas dan toksisitas

Getah ini stabil, mungkin dapat dibakar, dan tidak kompatibel dengan bahan oksidator kuat. Toksisitasnya rendah, tetapi bila debunya dihirup dapat menyebabkan alergi.

Jalak bali





Jalak Bali (Leucopsar rothschildi) adalah sejenis burung pengicau berukuran sedang, dengan panjang lebih kurang 25cm[1], dari suku Sturnidae. Ia turut dikenali sebagai Curik Ketimbang Jalak.[2] Jalak Bali memiliki ciri-ciri khusus, di antaranya memiliki bulu yang putih di seluruh tubuhnya kecuali pada ujung ekor dan sayapnya yang berwarna hitam. Bagian pipi yang tidak ditumbuhi bulu, berwarna biru cerah dan kaki yang berwarna keabu-abuan. Burung jantan dan betina serupa.
Endemik Indonesia, Jalak Bali hanya ditemukan di hutan bagian barat Pulau Bali. Burung ini juga merupakan satu-satunya spesies endemik Bali dan pada tahun 1991 dinobatkan sebagai lambang fauna Provinsi Bali. Keberadaan hewan endemik ini dilindungi undang-undang.


Jalak Bali ditemukan pertama kali pada tahun 1910. Nama ilmiah Jalak Bali dinamakan menurut pakar hewan berkebangsaan Inggris, Walter Rothschild, sebagai orang pertama yang mendeskripsikan spesies ini ke dunia pengetahuan pada tahun 1912.
Karena penampilannya yang indah dan elok, jalak Bali menjadi salah satu burung yang paling diminati oleh para kolektor dan pemelihara burung. Penangkapan liar, hilangnya habitat hutan, serta daerah burung ini ditemukan sangat terbatas menyebabkan populasi burung ini cepat menyusut dan terancam punah dalam waktu singkat. Untuk mencegah hal ini sampai terjadi, sebagian besar kebun binatang di seluruh dunia menjalankan program penangkaran jalak Bali.

harimau sumatera






Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) merupakan satu dari enam sub-spesies harimau yang masih bertahan hidup hingga saat ini dan termasuk dalam klasifikasi satwa kritis yang terancam punah (critically endangered)
Berdasarkan data tahun 2004, jumlah populasi harimau Sumatera di alam bebas hanya sekitar 400 ekor saja. Sebagai predator utama dalam rantai makanan, harimau mempertahankan populasi mangsa liar yang ada di bawah pengendaliannya, sehingga keseimbangan antara mangsa dan vegetasi yang mereka makan dapat terjaga.

Harimau Sumatera menghadapi dua jenis ancaman untuk bertahan hidup: mereka kehilangan habitat karena tingginya laju deforestasi dan terancam oleh perdagangan illegal dimana bagian-bagian tubuhnya diperjualbelikan dengan harga tinggi di pasar gelap untuk obat-obatan tradisional, perhiasan, jimat dan dekorasi. Harimau Sumatera hanya dapat ditemukan di pulau Sumatera, Indonesia.

Ciri-ciri Fisik
  • Harimau Sumatera memiliki tubuh yang relatif paling kecil dibandingkan semua sub-spesies harimau yang hidup saat ini.
  • Jantan dewasa bisa memiliki tinggi hingga 60 cm dan panjang dari kepala hingga kaki mencapai 250 cm dan berat hingga 140 kg. Harimau betina memiliki panjang rata-rata 198 cm dan berat hingga 91 kg.
  • Warna kulit harimau Sumatera merupakan yang paling gelap dari seluruh harimau, mulai dari kuning kemerah-merahan hingga oranye tua.


Ancaman

Harimau Sumatera berada di ujung kepunahan karena hilangnya habitat secara tak terkendali, berkurangnya jumlah spesies mangsa, dan perburuan. Laporan tahun 2008 yang dikeluarkan oleh TRAFFIC – program kerja sama WWF dan lembaga Konservasi Dunia, IUCN, untuk monitoring perdagangan satwa liar – menemukan adanya pasar ilegal yang berkembang subur dan menjadi pasar domestik terbuka di Sumatera yang memperdagangkan bagian-bagian tubuh harimau. Dalam studi tersebut TRAFFIC mengungkapkan bahwa paling sedikit 50 harimau Sumatera telah diburu setiap tahunnya dalam kurun waktu 1998- 2002. Penindakan tegas untuk menghentikan perburuan dan perdagangan harimau harus segera dilakukan di Sumatera.

Populasi Harimau Sumatera yang hanya sekitar 400 ekor saat ini tersisa di dalam blok-blok hutan dataran rendah, lahan gambut, dan hutan hujan pegunungan. Sebagian besar kawasan ini terancam pembukaan hutan untuk lahan pertanian dan perkebunan komersial, juga perambahan oleh aktivitas pembalakan dan pembangunan jalan. Bersamaan dengan hilangnya hutan habitat mereka, harimau terpaksa memasuki wilayah yang lebih dekat dengan manusia dan seringkali dibunuh atau ditangkap karena tersesat memasuki daerah pedesaan atau akibat perjumpaan tanpa sengaja dengan manusia.

Propinsi Riau adalah rumah bagi sepertiga dari seluruh populasi harimau Sumatera. Sayangnya, sekalipun sudah dilindungi secara hukum, populasi harimau terus mengalami penurunan hingga 70% dalam seperempat abad terakhir. Pada tahun 2007, diperkirakan hanya tersisa 192 ekor harimau Sumatera di alam liar Propinsi Riau.

Upaya yang Dilakukan WWF

WWF Indonesia bekerja sama dengan Pemerintah Indonesia, industri yang mengancam habitat harimau, organisasi konservasi lainnya serta masyarakat lokal untuk menyelamatkan Harimau Sumatera dari kepunahan. Pada tahun 2004, Pemerintah Indonesia mendeklarasikan kawasan penting, Tesso Nilo, sebagai Taman Nasional untuk memastikan masa depan yang aman bagi keberadaan Harimau Sumatera. Tahun 2010, pada KTT Harimau di St. Petersburg, Indonesia dan 12 negara lainnya yang melindungi harimau berkomitmen dalam sebuah tujuan konservasi spesies ambisius dan visioner yang pernah dibuat: TX2 – untuk menambah kelipatan jumlah harimau sampai pada akhir tahun 2022, tahun Harimau selanjutnya.

Program Nasional Pemulihan Harimau Indonesia sekarang merupakan bagian dari tujuan global dan meliputi enam lansekap prioritas Harimau Sumatera ini: Ulumasen, Kampar-Kerumutan, Bukit Tigapuluh, Kerinci Seblat, Bukit Balai Rejang Selatan, dan Bukit Barisan Selatan.

WWF saat ini tengah melakukan terobosan penelitian tentang Harimau Sumatera di Sumatera Tengah, menggunakan perangkap kamera untuk memperkirakan jumlah populasi, habitat dan distribusi untuk mengidentifikasi koridor satwa liar yang membutuhkan perlindungan. WWF juga menurunkan tim patroli anti-perburuan dan unit yang bekerja untuk mengurangi konflik manusia-harimau di masyarakat lokal.

Macan tutul jawa


Macan tutul jawa (Panthera pardus melas) atau macan kumbang adalah salah satu subspesies dari macan tutul yang hanya ditemukan di hutan tropis, pegunungan dan kawasan konservasi Pulau Jawa, Indonesia. Macan tutul ini memiliki dua variasi warna kulit yaitu berwarna terang (oranye) dan hitam (macan kumbang). Macan tutul jawa adalah satwa indentitas Provinsi Jawa Barat.
Dibandingkan dengan macan tutul lainnya, macan tutul jawa berukuran paling kecil, dan mempunyai indra penglihatan dan penciuman yang tajam. Subspesies ini pada umumnya memiliki bulu seperti warna sayap kumbang yang hitam mengilap, dengan bintik-bintik gelap berbentuk kembangan yang hanya terlihat di bawah cahaya terang. Bulu hitam Macan Kumbang sangat membantu dalam beradaptasi dengan habitat hutan yang lebat dan gelap. Macan Kumbang betina serupa, dan berukuran lebih kecil dari jantan.
Hewan ini soliter, kecuali pada musim berbiak.


 Macan tutul ini lebih aktif berburu mangsa di malam hari. Mangsanya yang terdiri dari aneka hewan lebih kecil biasanya diletakkan di atas pohon.
Macan tutul merupakan satu-satunya kucing besar yang masih tersisa di Pulau Jawa. Frekuensi tipe hitam (kumbang) relatif tinggi. Warna hitam ini terjadi akibat satu alel resesif yang dimiliki hewan ini.
Sebagian besar populasi macan tutul dapat ditemukan di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, meskipun di semua taman nasional di Jawa dilaporkan pernah ditemukan hewan ini, mulai dari Ujung Kulon hingga Baluran. Berdasarkan dari hilangnya habitat hutan, penangkapan liar, serta daerah dan populasi di mana hewan ini ditemukan sangat terbatas, macan tutul jawa dievaluasikan sebagai Kritis sejak 2007 di dalam IUCN Red List dan didaftarkan dalam CITES Appendix I. Satwa ini dilindungi di Indonesia, yang tercantum di dalam UU No.5 tahun 1990 dan PP No.7 tahun 1999.

badak jawa






Badak jawa atau badak bercula-satu kecil (Rhinoceros sondaicus) adalah anggota famili Rhinocerotidae dan satu dari lima badak yang masih ada. Badak ini masuk ke genus yang sama dengan badak india dan memiliki kulit bermosaik yang menyerupai baju baja. Badak ini memiliki panjang 3,1–3,2 m dan tinggi 1,4–1,7 m. Badak ini lebih kecil daripada badak india dan lebih dekat dalam besar tubuh dengan badak hitam. Ukuran culanya biasanya lebih sedikit daripada 20 cm, lebih kecil daripada cula spesies badak lainnya.


Badak ini pernah menjadi salah satu badak di Asia yang paling banyak menyebar. Meski disebut "badak jawa", binatang ini tidak terbatas hidup di Pulau Jawa saja, tetapi di seluruh Nusantara, sepanjang Asia Tenggara dan di India serta Tiongkok. Spesies ini kini statusnya sangat kritis, dengan hanya sedikit populasi yang ditemukan di alam bebas, dan tidak ada di kebun binatang. Badak ini kemungkinan adalah mamalia terlangka di bumi.[4] Populasi 40-50 badak hidup di Taman Nasional Ujung Kulon di pulau Jawa, Indonesia. Populasi badak Jawa di alam bebas lainnya berada di Taman Nasional Cat Tien, Vietnam dengan perkiraan populasi tidak lebih dari delapan pada tahun 2007. Berkurangnya populasi badak jawa diakibatkan oleh perburuan untuk diambil culanya, yang sangat berharga pada pengobatan tradisional Tiongkok, dengan harga sebesar $30.000 per kilogram di pasar gelap.[4] Berkurangnya populasi badak ini juga disebabkan oleh kehilangan habitat, yang terutama diakibatkan oleh perang, seperti perang Vietnam di Asia Tenggara juga menyebabkan berkurangnya populasi badak Jawa dan menghalangi pemulihan.[5] Tempat yang tersisa hanya berada di dua daerah yang dilindungi, tetapi badak jawa masih berada pada risiko diburu, peka terhadap penyakit dan menciutnya keragaman genetik menyebabkannya terganggu dalam berkembangbiak. WWF Indonesia mengusahakan untuk mengembangkan kedua bagi badak jawa karena jika terjadi serangan penyakit atau bencana alam seperti tsunami, letusan gunung berapi Krakatau dan gempa bumi, populasi badak jawa akan langsung punah.[6] Selain itu, karena invasi langkap (arenga) dan kompetisi dengan banteng untuk ruang dan sumber, maka populasinya semakin terdesak.[6] Kawasan yang diidentifikasikan aman dan relatif dekat adalah Taman Nasional Halimun di Gunung Salak, Jawa Barat yang pernah menjadi habitat badak Jawa.[6]
Badak jawa dapat hidup selama 30-45 tahun di alam bebas. Badak ini hidup di hutan hujan dataran rendah, padang rumput basah dan daerah daratan banjir besar. Badak jawa kebanyakan bersifat tenang, kecuali untuk masa kenal-mengenal dan membesarkan anak, walaupun suatu kelompok kadang-kadang dapat berkumpul di dekat kubangan dan tempat mendapatkan mineral. Badak dewasa tidak memiliki hewan pemangsa sebagai musuh. Badak jawa biasanya menghindari manusia, tetapi akan menyerang manusia jika merasa diganggu. Peneliti dan pelindung alam jarang meneliti binatang itu secara langsung karena kelangkaan mereka dan adanya bahaya mengganggu sebuah spesies terancam. Peneliti menggunakan kamera dan sampel kotoran untuk mengukur kesehatan dan tingkah laku mereka. Badak Jawa lebih sedikit dipelajari daripada spesies badak lainnya.

Beruang madu

 
Beruang madu Panjang tubuhnya 1,40 m, tinggi punggungnya 70 cm dengan berat berkisar 50 – 65 kg.[7] Bulu beruang madu cenderung pendek, berkilau dan pada umumnya hitam, matanya berwarna cokelat atau biru,selain itu hidungnya relatif lebar tetapi tidak terlalu moncong.[3].Jenis bulu beruang madu adalah yang paling pendek dan halus dibandingkan beruang lainnya, berwarna hitam kelam atau hitam kecoklatan, di bawah bulu lehernya terdapat tanda yang unik berwarna oranye yang dipercaya menggambarkan matahari terbit.[8] Berbeda dengan beruang madu dewasa, bayi beruang madu yang baru lahir memiliki bulu yang lebih lembut, tipis dan bersinar.[9] Karena hidupnya di pepohonan maka telapak kaki 

 
beruang ini tidak berbulu sehingga ia dapat bergerak dengan kecepatan hingga 48 kilometer per jam dan memiliki tenaga yang sangat kuat.[10] Kepala beruang madu relatif besar sehingga menyerupai anjing yakni memiliki telinga kecil dan berbentuk bundar.[3] Beruang jenis ini memiliki lidah yang sangat panjang dan dapat dipanjangkan sesuai dengan kondisi alam untuk menyarikan madu dari sarang lebah di pepohonan.[8] Selain itu, lidah yang panjangnya dapat melebihi 25 cm itu juga digunakan untuk menangkap serangga kecil di batang pohon.[11] Beruang madu memiliki penciuman yang sangat tajam dan memiliki kuku yang panjang di keempat lengannya yang digunakan untuk mempermudah mencari makanan.[12] Beruang madu lebih sering berjalan dengan empat kaki, dan sangat jarang berjalan dengan dua kaki seperti manusia.[11] Lengan beruang jenis ini cukup lebar dan memiliki kuku melengkung serta berlubang yang memudahkannya memanjat pohon.[13] Kuku tangan yang melengkung digunakan oleh beruang ini untuk menggali rayap, semut dan sarang lebah dan beruang yang sedang mencari madu akan segera menghancurkan kayu yang masih hidup dan segar dan bahkan berusaha untuk menggaruk pohon yang kayunya keras.[14]Rahang beruang madu tidak proporsional karena terlalu besar sehingga tidak dapat memecahkan buah-buah besar seperti kelapa.[15] Gigi beruang ini lebih datar dan merata dibandingkan dengan jenis beruang lain, gigi taringnya cukup panjang sehingga menonjol keluar dari mulut.[16] Ukuran tulang tengkorak kepala beruang madu pada umunya memiliki panjang tengkorak 264,5 mm, panjang condylobasal 241,3 mm, lebar zygomatic 214,6 mm, lebar mastoid 170,2 mm, lebar interorbital 70,5 mm, lebar maxilla 76,2 mm.[17]

Rabu, 29 Maret 2017

julang sulawesi

Hasil gambar untuk julang sulawesi

Julang sulawesi (Aceros cassidix) adalah spesies burung rangkong dalam famili Bucerotidae. Burung ini endemik di Sulawesi. Di daerah Minahasa. burung ini dikenal dengan nama Burung Taong.

Deskripsi[sunting | sunting sumber]

Panjang tubuh dapat mencapai 100 cm pada jantan, dan 88 cm pada betina. Julang Sulawesi memiliki tanduk (casque) yang besar di atas paruh, berwarna merah pada jantan dan kuning pada betina. Paruh berwarna kuning dan memiliki kantung biru pada tenggorokan[2].




Habitat dan Kebiasaan[sunting | sunting sumber]

Julang sulawesi menghuni hutan primer dan hutan rawa. Terkadang ditemukan di hutan sekunder yang tinggi dan petak hutan yang tersisa dengan lahan pertanian yang luas. Terkadang pula mengunjungi hutan bakau[3]. Julang Sulawesi biasa terbang di atas dan sekeliling tajuk dalam kelompok-kelompok kecil yang terpisah, namun terkadang berkelompok sampai lima puluh individu atau lebih. Ketika terbang sayapnya berbunyi berisik seperti mesin uap[2].

Persebaran[sunting | sunting sumber]

Julang sulawesi adalah spesies endemik di Pulau Sulawesi dan beberapa pulau satelit Sulawesi seperti Pulau LembehKepulauan TogianPulau Muna, dan Pulau Butung[3].

anoa

Hasil gambar untuk anoa


Anoa adalah hewan endemik Sulawesi, sekaligus maskot provinsi Sulawesi Tenggara.[1][2] Berdasarkan letak persebarannya, hewan ini tergolong faunaperalihan.[3] Sejak tahun 1960-an, anoa berada dalam status terancam punah.[4]Dalam lima tahun terakhir populasi anoa menurun secara drastis.[2] Diperkirakan saat ini terdapat kurang dari 5000 ekor yang masih bertahan hidup.[5] Anoa sering diburu untuk diambil kulit, tanduk dan dagingnya.[5]


Ada dua spesies anoa, yaitu: Anoa pegunungan (Bubalus quarlesi) dan Anoa dataran rendah (Bubalus depressicornis).[6] Kedua jenis ini tinggal dalam hutan yang tidak dijamah manusia.[7] Keduanya juga termasuk jenis yang agresif dan sulit dijinakkan untuk dijadikan hewan ternak (domestikasi).[6] Kedua jenis ini dibedakan berdasarkan bentuk tanduk dan ukuran tubuh.[8] Anoa dataran rendah relatif lebih kecil, ekor lebih pendek dan lembut, serta memiliki tanduk melingkar.[8] Sementara anoa pegunungan lebih besar, ekor panjang, berkaki putih, dan memiliki tanduk kasar dengan penampang segitiga.[8] Penampilan mereka mirip dengan kerbau, dengan berat berat tubuh 150-300 kilogram dan tinggi 75 centimeter.[6][7] Saat ini konservasi anoa difokuskan pada perlindungan terhadap kawasan hutan dan penangkaran.[1] Banyak yang menyebut anoa sebagai kerbau kerdil.[9]

bunga edelweis

Bunga edelweis asli atau yang sering disebut dengan  Everlasting Flower  sebenarnya adalah bunga  Leontopodium  yang hanya ada di pegu...